a.
Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit kronis residif
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
penderita atau keluarganya. Kata ‘atopi’ pertama kali diperkenalkan oleh Coca
(1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronkial, rinitis
alergik, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergik.
Istilah lain dari dermatitis atopic adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural,
neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier.
b.
Epidemiologi
Belakangan ini prevalensi DA makin meningkat dan hal ini merupakan
masalah besar karena terkait bukan saja dengan kehidupan penderita tetapi juga
melibatkan keluarganya. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan
Negara-negara industri lainnya, prevalensi DA pada anak mencapai 10 – 20
persen, sedangkan pada dewasa 1 – 3 persen. Di Negara agraris, prevalensi ini
lebih rendah. Perbandingan wanita dan pria adalah 1,3:1. DA cenderung
diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih dari seperempat anaknya
akan menderita DA pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita
atopi maka lebih separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila
kedua orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75 persen. Resiko
mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah.
Tetapi, bila yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka resiko untuk
mewarikan kepada anaknya sama saja yaiitu kira-kira 50%.
c.
Etiopatogenesis
Penyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik,
imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya
DA adalah melalui reaksi imunologik.
1)
Faktor
Genetik
DA adalah penyakit dalam keluarga dimana pengaruh maternal sangat
besar. Walaupun banyak gen yang nampaknya terkait dengan penyakit alergi,
tetapi yang paling menarik adalah peran Kromosom 5 q31 – 33 karena mengandung
gen penyandi IL3, IL4, IL13 dan GM – CSF (granulocyte macrophage colony
stimulating factor) yang diproduksi oleh sel Th2. Pada ekspresi DA, ekspresi
gen IL-4 juga memainkan peranan penting. Predisposisi DA dipengaruhi perbedaan
genetik aktifitas transkripsi gen IL-4. Dilaporkanadanya keterkaitan antara
polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan DA tetapi tidak dengan asma
bronchial ataupun rinitif alergik. Serine protease yang diproduksi sel
mast kulit mempunyai efek terhadap organ spesifik dan berkontribusi pada resiko
genetik DA
2)
Respons
imun pada kulit
Salah satu
faktor yang berperan pada DA adalah faktor imunologik. Di dalam kompartemen
dermo-epidermal dapat berlangsung respon imun yang melibatkan sel Langerhans
(SL) epidermis, limfosit, eosinofil dan sel mas. Bila suatu antigen (bisa
berupa alergen hirup, alergen makanan, autoantigen ataupun super antigen)
terpajan ke kulit individu dengan kecenderungan atopi, maka antigen tersebut
akan mengalami proses : ditangkap IgE yang ada pada permukaan sel mast atau IgE
yang ada di membran SL epidermis.
Bila antigen
ditangkap IgE sel mast (melalui
reseptor FcεRI), IgE akan mengadakan cross linking dengan FcεRI,
menyebabkan degranulasi sel mas dan akan keluar histamin dan faktor kemotaktik
lainnya. Reaksi ini disebut reaksi hipersensitif tipe cepat (immediate type
hypersensitivity). Pada pemeriksaan histopatologi akan nampak sebukan sel
eosinofil. Selanjutnya antigen juga ditangkap IgE, sel Langerhans (melalui
reseptor FcεRI FcεRII dan IgE-binding protein), kemudian diproses untuk
selanjutnya dengan bekerjasama dengan MHC II akan dipresentasikan ke nodus
limfa perifer (sel Tnaive) yang mengakibatkan reaksi berkesinambungan terhadap
sel T di kulit, akan terjadi diferensiasi sel T pada tahap awal aktivasi yang
menentukan perkembangan sel T ke arah TH1 atau TH2. Sel TH1 akan mengeluarkan
sitokin IFN-γ, TNF, IL-2 dan IL-17, sedangkan sel TH2 memproduksi IL-4, IL-5
dan IL-13. Meskipun infiltrasi fase akut DA didominasi oleh sel TH2 namun
kemudian sel TH1 ikut berpartisipasi. Jejas yang terjadi mirip dengan respons
alergi tipe IV tetapi dengan perantara IgE sehingga respons ini disebut IgE
mediated-delayed type hypersensitivity.
Pada
pemeriksaan histopatologi nampak sebukan sel netrofil. Selain dengan SL dan sel
mas, IgE juga berafinitas tinggi dengan FcεRI yang terdapat pada sel basofil
dan terjadi pengeluaran histamin secara spontan oleh sel basofil. Garukan
kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF α dan sitokin pro inflamasi epidermis
lainnya yang akan mempercepat timbulnya peradangan kulit DA.
Kadang-kadang
terjadi aktivasi penyakit tanpa rangsangan dari luar sehingga timbul dugaan
adanya autoimunitas pada DA. Pada lesi kronik terjadi perubahan pola sitokin.
IFN-γ yang merupakan sitokin Th1 akan diproduksi lebih banyak sedangkan kadar
IL-5 dan IL-13 masih tetap tinggi. Lesi kronik berhubungan dengan hiperplasia
epidermis. IFN dan GM-CSF mampu menginduksi sel basal untuk berproliferasi
menghasilkan pertumbuhan keratinositepidermis. Perkembangan sel T menjadi sel
TH2 dipacu oleh IL-10 dan prostaglandin (P6) E2. IL-4 dan IL-13 akan
menginduksi peningkatan kadar IgE yang diproduksi oleh sel B.
3)
Respons
sistemik
Perubahan sistemik pada DA adalah sebagai berikut :
·
Sintesis
IgE meningkat.
·
IgE
spesifik terhadap alergen ganda meningkat.
·
Ekspresi
CD23 pada sel B dan monosit meningkat.
·
Respons
hipersensitivitas lambat terganggu
·
Eosinofilia
·
Sekresi
IL-4, IL-5 dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat
·
Sekresi
IFN-γ oleh sel TH1 menurun
·
Kadar
reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
·
Kadar
CAMP-Phosphodiesterase monosit meningkat disertai peningkatan IL-13
·
dan
PGE2
4)
Sawar
kulit
Umumnya
penderita DA mengalami kekeringan kulit. Hal ini diduga terjadi akibat kadar
lipid epidermis yang menurun, trans epidermal water loss meningkat, skincapacitance
(kemampuan stratum korneum meningkat air) menurun. Kekeringan kulit ini
mengakibatkan ambang rangsang gatal menjadi relatif rendah dan menimbulkan
sensasi untuk menggaruk. Garukan ini menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga
memudahkan mikroorganisme dan bahan iritan/alergen lain untuk melalui kulit dengan
segala akibat-akibatnya.
5)
Faktor
lingkungan
Peran
lingkungan terhadap tercetusnya DA tidak dapat dianggap remeh. Alergi makanan
lebih sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Jenis makanan yang menyebabkan
alergi pada bayi dan anak kecil umumnya susu dan telur, sedangkan pada dewasa seafood
dan kacang-kacangan. Tungau debu rumah (TDR) serta serbuk sari merupakan
alergen hirup yang berkaitan erat dengan asma bronkiale pada atopi dapat
menjadi faktor pencetus DA. 95% penderita DA mempunyai IgE spesifik terhadap
TDR. Derajat sensitisasi terhadap aeroalergen berhubungan langsung dengan
tingkat keparahan DA. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan faktor pencetus
DA, suhu udara yang terlampau panas/dingin, keringat dan perubahan udara
tiba-tiba dapat menjadimasalah bagi penderita DA.Hubungan psikis dan penyakit
DA dapat timbal balik. Penyakit yang kronik residif dapat mengakibatkan
gangguan emosi. Sebaliknya stres akan merangsang pengeluaran substansi tertentu
melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal. Kerusakan sawar
kulit akan mengakibatkan lebih mudahnya mikroorganisme dan bahan iritan
(seperti sabun, detergen, antiseptik, pemutih, pengawet) memasuki kulit.
d.
Manifestasi
Klinis
Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar
lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Jari tangan teraba dingin. Penderita dermatitis atopik cenderung tipe astenik,
dengan intelegensia diatas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi,
agresif, atau merasa tertekan.
Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita
akanmenggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainann di kulit berupa papul,
likenifikasi, eritema, erosi, eskoriasi, eksudasi dan krusta.
Dermatitis atopic dapat di bagi ke dalam 3 fase, yaitu:
1)
Dermatitis
infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
2)
Dermatitis
atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
3)
Dermatitis
atopik pada remaja dan dewasa [1]
e.
Diagnosis
Diagnosis dermatitis atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh
Hanifin dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang di
koordinasi oleh Williams (1994).
Ø Kriteria Mayor
-
Pruritus
-
Dermatitis
di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
-
Dermatitis
di fleksura pada dewasa
-
Dermatitis
kronis yang residif
-
Riwayat
atopi pada penderita atau keluarganya
Ø Kriteria Minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.
aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris
- Pitiriasis Alba
- Dermatitis di papilla mame
- White
dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat dan eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau
emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini
Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai tiga kriteria mayor dan
tiga kriteria minor. Untuk bayi
kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Ø Tiga kriteria mayor berupa:
- Riwayat atopi pada keluarga
- Dermatitis di muka atau ekstensor
- Pruritus
Ø Ditambah tiga kriteria minor:
- Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris,
- Aksentuasi perifolikular
- Fisura belakang telinga
-
Skuama
di scalp kronis
Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan :
·
IgE serum : IgE serum dapat
diperiksa dengan metode ELISA. Ditemukan 80 % pada penderita dermatitis atopik
menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam serum terutama bila disertai gejala
atopi (alergi).
·
Eosinofil : Kadar serum dapat
ditemukan dalam serum penderita dermatitis atopik. Berbagai mediatore berperan
sebagai kemoatraktan terhadap eosinofil untuk menuju nke tempat peradangan dan
kemudian mengeluarkan berbagai zat antara lain Major Basic Protein (MBP). Peninggian
kadar eosinofil dalam darah terutama pada MBP.
·
TNF - α : Konsentrasi plasma TNF-a
meningkat pada penderita dermatitis atopik dibandingkan penderita asma
bronkhial.
·
Sel T : Limfosit T di daerah tepi
pada penderita dermatitis atopik mempunyai jumlah absolut yang normal atau
berkurang. Dapat diperiksa dengan pemeriksaan imunofluouresensi terlihat
aktifitas sel T-helper menyebabkan pelepasan sitokin yang berperan pada
patogenesis dermatitis atopik.
·
Uji tusuk : Pajanan alergen udara
(100kali konsentrasi) yang dipergunakan untuk tes intradermal yang dapat memacu
terjadinya hasil positif.
·
Pemeriksaan biakan dan resistensi
kuman : Pemeriksaan dilakukan bila ada infeksi sekunder untuk menentukan jenis
mikroorganisme patogen serta antibiotika yang sesuai. Sampel pemeriksaan
diambil dari pus tempat lesi penderita.
b.
Dermatografisme Putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan 3 respon, yakni : akan
tampak garis merah di lokasi penggoresan selama 15 menit, selanjutnya mennyebar
ke daerah sekitar, kemudian timbul edema setelah beberapa menit. Namun, pada
penderita atopik bereaksi lain, garis merah tidak disusul warna kemerahan,
tetapi timbul kepucatan dan tidak timbul edema.
c.
Percobaan Asetilkolin
Suntikan secara intrakutan
solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hiperemia pada orang normal. Pada
orang DA. akan timbul vasokontriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.
d.
Percobaan Histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita Dermatitis Atopik
eritema akan berkurang, jika disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah
pada kulit yang normal. [7]
f.
Penatalaksanaan
a.
Penatalaksanaan
Umum
Berbagai
faktor dapat menjadi pencetus DA dan tidak sama untuk setiap individu, karena
itu perlu diidentifikasi dan dieliminasi berbagai faktor tersebut.
-
Menghindarkan pemakaian bahan-bahan
iritan (deterjen, alkohol, astringen, pemutih, dll)
-
Menghindarkan suhu yang terlalu
panas dan dingin, kelembaban tinggi.
-
Menghindarkan aktifitas yang akan
mengeluarkan banyak keringat.
-
Menghindarkan makanan-makanan yang dicurigai
dapat mencetuskan DA.
-
Melakukan hal-hal yang dapat
mengurangi jumlah TDR/agen infeksi, seperti menghindari penggunaan
kapuk/karpet/mainan berbulu.
-
Menghindarkan stres emosi.
-
Mengobati rasa gatal.
b. Pengobatan
1)
Pengobatan Topikal
·
Hidrasi kulit
Dengan melembabkan kulit, diharapkan
sawar kulit menjadi lebih baik dan penderita tidak menggaruk dan lebih
impermeabel terhadap mikroorganisme/bahan iritan. Berbagai jenis pelembab dapat
dipakai antara lain krim hidrofilik urea 10%, pelembab yang mengandung asam
laktat dengan konsentrasi kurang dari 5%. Pemakaian pelembab beberapa kali
sehari, setelah mandi.
·
Kortikosteroid topikal
Walau steroid topikal sering diberi
pada pengobatan DA, tetapi harus berhati-hati karena efek sampingnya yang cukup
banyak. Kortikosteroid potensi rendah diberi pada bayi, daerah intertriginosa
dan daerah genitalia. Kortikosteroid potensi menengah dapat diberi pada anak
dan dewasa. Bila aktifitas penyakit telah terkontrol. Kortikosteroid
diaplikasikan intermiten, umumnya dua kali seminggu.
·
Imunomodulator topikal
-
Takrolimus : Bekerja sebagai
penghambat calcineurin, sediaan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2 – 15
tahun dan dewasa 0,03% dan 0,1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ditemukan
efek samping kecuali rasa terbakar setempat.
-
Pimekrolimus : Yaitu suatu senyawa
askomisin yaitu suatu imunomodulator golongan makrolaktam. Kerjanya sangat
mirip siklosporin dan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1%,
aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif 2 kali sehari.
-
Preparat TER : Mempunyai efek anti
pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik
misalnya mengandung liquor carbonat detergent 5% - 10% atau crude
coaltar 1% - 5%.
·
Antihistamin
Antihistamin
topikal tidak dianjurkan pada DA karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi
pada kulit. Pemakaian krim doxepin 5% dalam jangka pendek (1 minggu) dapat
mengurangi gatal tanpa sensitisasi, tapi pemakaian pada area luas akan
menimbulkan efek samping sedatif.
2)
Pengobatan sistemik
·
Kortikosteroid
Hanya
dipakai untuk mengendalikan DA eksaserbasi akut. Digunakan dalam waktu singkat,
dosis rendah, diberi selang-seling. Dosis diturunkan secara tapering.
Pemakaian jangka panjang akan menimbulkan efek samping dan bila tiba-tiba
dihentikan akan timbul rebound phenomen.
·
Antihistamin
Diberi untuk
mengurangi rasa gatal. Dalam memilih anti histamin harus diperhatikan berbagai
hal seperti penyakit-penyakit sistemik, aktifitas penderita dll. Anti histamin
yang mempunyai efek sedatif sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan
aktifitas disiang hari (seperti supir). Pada kasus sulit dapat diberi doxepin
hidroklorid 10- 75 mg/oral/2 x sehari yang mempunyai efek anti depresan dan
blokade reseptor histamine H1 dan H2.
·
Anti infeksi
Pemberian
anti biotika berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S. aureus pada
kulit penderita DA. Dapat diberi eritromisin, asitromisin atau kaltromisin.
Bila ada infeksi virus dapat diberi asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 10 hari
atau 4 x 200 mg/hari untuk 10 hari.
·
Interferon
IFN γ
bekerja menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH1.
Pengobatan IFN γ rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat
menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
·
Siklosporin
Adalah suatu
imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan calcineurin
menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Dosis 5 mg/kg BB/oral, diberi dalam waktu singkat,
bila obat dihentikan umumnya penyakit kambuh kembali. Efek sampingnya adalah
peningkatan kreatinin dalam serum dan bisa terjadi penurunan fungsi ginjal dan
hipertensi.
·
Terapi sinar (phototherapy)
Dipakai
untuk DA yang berat. Terapi menggunakan ultra violet β atau kombinasi ultra
violet A dan ultra violet B. Terpai kombinasi lebih baik daripada ultra violet
B saja. Ultra violet A bekerja pada SL dan eosinofil sedangkan ultra violet B
mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi SL dan mengubah
produksi sitoksin keratinosit.
g.
Diagnosis Banding
1. Dermatitis
Seboroik Fasii : Dermatitis seboroik pada muka mirip dengan dermatitis atopik
tipe infant. Pada Dermatitis seboroik ditemukan skuama kekuningan dan berminyak
pada daerah alis mata dan lipatan nasolabial. Pada DA lesi ditemukan biasanya pada pipi dan simetris.
2. Neurodermatitis
Sirkumskripta (Liken Simpleks Kronikus) : Pada DA tipe anak dan dewasa.
Neurodermatitis Sirkumskripta dan DA sama-sama terasa gatal. Predileksi DA pada
lipat siku, lipat lutut (fleksor) dan tengkuk. Predileksi neurodermatitis
Sirkumskripta pada siku, punggung kaki (ekstensor) dan tengkuk. Pada DA
biasanya sembuh setelah umur 30 tahun sedangkan neurodermatitis sirkumskripta
dapat berlanjut sampai tua.
3. Dermatitis
Kontak Alergika : Lokasi pada semua bagian tubuh yang tekena bahan kontaktan.
Lesi eritema bentuk numular hingga plakat, papula dan vesikel berkelompok
disertai erosi. Terjadi pada semua umur.
4. Dermatitis
Numularis : Lesi eritematosus eksudatif berbentuk koin pada ekstremitas bagian
ekstensor, bokong dan bahu disertai dengan Koebner fenomena. Lebih sering dijumpai pada pria dewasa.
h. Prognosis
Terima kasih sharing tulisan di blog ini , sangat bermanfaat sekali..
BalasHapusoya kalau boleh nambahkan referensi mungkin bisa juga kunjungi halaman situs ini http://www.tanyadok.com/kesehatan/gangguan-kesehatan-kulit-yang-sering-kambuh-jangan-jangan-dermatitis-atopik